Beranda

Jumat, 04 November 2011

Transparansi Pajak Sebaiknya Dibatasi

JAKARTA, KOMPAS.com - Transparansi perpajakan di Indonesia perlu dijaga agar tidak membahayakan penerimaan negara, baik yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Pajak maupun Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Itu perlu karena pada dasarnya basis perhitungan pajak itu adalah kegiatan ekonomi yang tidak jelas batasan legal dan ilegalnya.
"Di dunia, tidak ada yang memisahkan antara PDB (Produk Domestik Bruto) yang legal dan yang ilegal. Semuanya masuk, dan menjadi basis perhitungan penerimaan pajak. Jadi ketika tuntutan transparansi atas perpajakan digulirkan, pertama-tama buatlah dulu batasan antara legal dan ilegal dulu. Apakah penerimaan pajak yang dihimpun negara itu harus legal semua atau dicampur saja," ujar Ketua Pengadilan Pajak Saroyo Atmosudarmo di Jakarta, Sabtu (5/11/2011).
Menurut Saroyo, pada prinsipnya, asas self assessment (pembayaran pajak didasarkan atas pelaporan sukarela dari wajib pajak) yang dilakukan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) pajak didesain untuk mencatat semua penghasilan. Artinya, penghasilan wajib pajak yang halal maupun haram karena hasil kejahatan pun wajib dilaporkan.
"Artinya, pencopet dan koruptor pun sama harus melaporkan penghasilannya. Maka, ketika diputuskan bahwa SPT bisa dibongkar secara semena-mena, semua bisa sengsara. Penghasilan negara pun bisa turun. Itu terjadi karena pajak berada di tengah-tengah, antara perlindungan hukum wajib pajak dan sisi ekonominya yang harus dikejar," ujarnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar